Kena PHK di tengah Pandemi? Ini 3 hal penting yang harus diperhatikan!
- Administrator
- Sep 5, 2020
- 5 min read
Updated: Sep 7, 2020
Keadaan Pandemi ini memberikan pengaruh yang sedemikian masif terhadap setiap lini kehidupan. Salah satu dampak yang begitu terasa daripada wabah ini ialah di bidang ekonomi, dimana sejak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar membuat banyak usaha, baik besar maupun kecil, yang harus membuat beberapa penyesuaian. Banyak dari usaha tersebut yang kemudian terpaksa untuk menghentikan pekerjanya atas dasar berbagai hal. Penghentian Hubungan Kerja (PHK) ini memang merupakan sesuatu yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan kita, namun tentunya diatur mengenai tata cara serta keadaan apa yang dapat menyebabkan hal ini. Jangan sampai Pandemi ini kemudian disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk memperlakukan Pekerja secara semena-mena. Maka dari itu Kementerian Ketenagakerjaan kemudian mengeluarkan beberapa aturan, salah satunya ialah Surat Edaran Menteri Nomor M/3/HK.04/III 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SEMA M/3/HK.04/III 2020”). Berikut secara singkat akan kami coba jelaskan mengenai beberapa hal fundamental mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, khususnya dalam masa Pandemi ini.

1. Dapatkah perusahaan mem-PHK karyawan karena alasan tidak dapat menggaji pekerja sebagai dampak situasi COVID-19?
Pada dasarnya, pengusaha senantiasa diminta untuk mengusahakan segala upaya agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Namun, sehubungan dengan adanya pandemi ini, kadangkala pemberi kerja terpaksa untuk melakukan PHK, utamanya oleh sebab tidak dapat menggaji.
Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III 2020 yang berisi tentang upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh Pengusahaan dalam rangka melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh dan menghindarkan pemutusan hubungan kerja di tengah pandemi COVID-19. Contohnya, perusahaan dan pekerja dapat bersepakat untuk mengubah jumlah maupun cara pembayaran upah jika perusahaan melakukan pembatasan kegiaan usaha akibat kebijakan pemerintah.
Namun, Pengusaha tetap diperbolehkan untuk melakukan PHK karena alasan-alasan tertentu. Di tengah pandemi COVID-19, beberapa alasan PHK yang kerap digunakan antara lain adalah: a) PHK karena perusahaan mengalami kerugian terus-menerus; b) PHK karena keadaan memaksa; dan c) PHK karena efisiensi yang menyebabkan perusahaan ditutup permanen.
Apabila PHK dilakukan karena pengusaha mengalami kerugian terus-menerus selama 2 (dua tahun) atau keadaan memaksa (force majeure), hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a) Apabila alasan yang digunakan adalah kerugian, maka perusahaan harus dapat membuktikan kerugian tersebut melalui laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
b) Apabila alasan yang digunakan adalah keadaan memaksa atau force majeure, maka harus memperhatikan kualifikasi dari “keadaan memaksa” yang ada di Undang-Undang. Keadaan memaksa secara hukum dijelaskan oleh Wirjono Projodikoro sebagai " keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan". Lebih lanjut, suatu kewajiban harus benar-benar tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari adanya keadaan memaksa;
c) Baik dalam penggunaan alasan kerugian ataupun keadaan memaksa untuk melakukan PHK, maka pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tidak tetap (PKWTT) berhak atas dua kali uang pesangon dalam ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja sebanyak 1 kali ketentuan dalam psal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
Apabila PHK dilakukan karena alasan efisiensi, alasan-alasan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
a) Efisiensi hanya dapat digunakan sebagai alasan PHK apabila efisiensi yang dilakukan melalui penutupan perusahaan secara permanen. Apabila perusahaan tidak tutup secara permanen, maka alasan PHK karena efisiensi tidak valid.
b) Sebelum melakukan PHK dengan alasan efisiensi, perusahaan harus menempuh upaya-upaya berikut:
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas;
b. Mengurangi shift;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
d. Mengurangi jam kerja;
e. Mengurangi hari kerja;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g. Tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat
Selain itu, buruh juga buruh/Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ("PKWTT") berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali, dan uang penggantian hak.
2. Apakah saja hak-hak bagi pekerja yang di-PHK?
Bilamana kemudian sebab COVID-19 ini seorang pekerja kehilangan pekerjaannya, maka pemberi kerja terikat kewajiban untuk membayarkan sejumlah kewajiban terhadap Perkerjanya. Adapun kewajiban itu besarannya tergantung kepada jenis perjanjian kerja yang dimiliki oleh si Pekerja.
Terdapat setidaknya dua skema Pemutusan Hubungan Kerja berdasar pihak yang melakukan pemutusan, yakni PHK yang dilakukan oleh pengusaha dan PHK sukarela, yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai berikut:
1. PHK oleh pengusaha, yang pada pokoknya memberi dampak sebagai berikut:
a) PHK harus memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar dapat berlaku secara sah. Apabila tidak menerima penetapan yang demikian, PHK tidak berlaku secara sah. Walau begitu, terdapat pengecualian terhadap aturan ini, yakni jika :
a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bila telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauannya sendiri;
c. Hubungan kerja berakhir sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
d. Pekerja mencapai usai pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja;
e. Pekerja meninggal dunia
b) Terhadap Pekerja PKWTT,, Pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang perhargaan masa kerja beserta uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh Pekerja.
c) Terhadap Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ("PKWT"), maka Pengusaha diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak pekerja sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
2. Pengunduran Diri Sukarela, yang terjadi apabila pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Pada pokoknya dampak dari PHK jenis ini antara lain adalah :
a) Pengunduran diri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
b) Pekerja PKWTT hanya berhak untuk memperoleh uang penggantian hak (tidak berhak menerima uang pesangon dan uang penghargaan kerja) sesuai dengan pasal 156 ayat (4), dengan syarat :
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggalmulai pengunduran diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas;
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
c) Pekerja PKWT diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak pengusaha apabila mengundurkan diri sebelum kontrak berakhir.
3. Bagaimana rumus penghitungan uang pesangon, uang penghargaan, uang penggantian hak, dan uang ganti rugi secara umum?
Penghitungan uang pesangon, uang penghargaan, uang penggantian hak maupun uang ganti rugi akibat pemutusan hubungan kerja secara umum ialah sebagai berikut:
a. Bagi pekerja PKWT
komponen uang yang diterima apabila di PHK hanyalah uang ganti kerugian yang dihitung berdasarkan upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
b. Bagi pekerja PKWTT,
komponen uang yang diterima dalam hal PHK adalah sebagai
berikut :
Uang pesangon, dengan penghitungan minimum sebagai berikut:

Uang penghargaan, dengan penghitungan berikut:

Uang penggantian hak, yang penghitungannya meliputi :
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perlu diingat, PHK dengan alasan tertentu dapat menambah ataupun mengurangi jumlah minimum uang yang didapat. Sebagai contoh, apabila PHK dilakukan karena alasan keadaan memaksa, maka pekerja berhak untuk menerima dua kali uang pesangon.
Penulis: Kirana Ayu Kinanti
Editor: Kartika Tri Wardhani
Comentários